chocoprince

menu

Selasa, 23 Juni 2009

ekoLaBA


Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau yang tersebar dari barat hingga timur dengan garis pantai sepanjang ± 80.791 km. Setiap pulau memiliki perbedaan yang dipengaruhi oleh kondisi geologi, geomorfologi, hidrologi dan posisinya yang terletak pada daerah tropis. Dan penyebaran lahan basah yang begitu luas. Lahan basah adalah lingkungan rendah yang selalu tergenang air. Air yang menggenangi rawa dapat berupa air hujan, air sungai maupun sumber mata air tanah. Rawa membentuk suatu ekosistem yang unik yaitu sebagian tanah dan juga air . Menurut Konvensi Ramsar 1971 menakrifkan lahan basah yang penting secara internasional sebagai berikut :
Lahan basah adalah wilayah rawa, lahan gambut, dan air, baik alami maupun buatan, bersifat tetap ataupun sementara, berair ladung ( stagnant, static) atau mengalir yang bersifat tawar, payau, atau asin, mencakup wilayah air marin yang di dalamnya pada waktu surut tidak lebih daripada enam meter .
Kovensi Ramsar memilahkan lahan basah berdasarkan ciri biologi dan fisik dasar menjadi 30 kategori lahan basah alami dan 9 kategori lahan basah buatan. Ketigapuluh kategori lahan basah alami dipilahkan lebih lanjut menjadi 13 kategori berair asin dan 17 kategori berair tawar. Lahan basah buatan mencakup waduk, lahan sawah, jejaring irigasi, dan lahan akuakultur ( perkolaman tawar dan tambak ). Untuk meringkus tinjauan, penggolongan lahan basah alami boleh dikurangi menjadi 7 satuan bentang lahan ( landscape ) yang seluruhnya merupakan komponen penting bagi penetapan kerangka perencanaan konversi lahan basah. Ketujuh satuan bentang lahan tersebut adalah estuari, pantai terbuka, dataran banjir, rawa air tawar, danau, lahan gambut, dan hutan rawa.
Khususnya pada daerah Kalimantan dikenal memiliki seuberdaya lahan basah yang begitu luas. Akan tetapi kurangnya tenaga ahli dan pengalaman tentang pemanfaatan lahan basah membuat kondisi lahan basah di Kalimantan tidak berkembang dan terus mengalami kerusakan. Tak terkecuali dengan lahan basah yang berada pada selatan Kalimantan, yaitu di Kalimantan selatan yang menjadikan lahan basah sebagai primadonanya. Luas lahan basah di Kalsel mencapai 382.272 ha. Lahan basah di Kalsel merupakan daerah cekungan pada dataran rendah yang pada musim penghujan tergenang tinggi oleh air luapan dari sungai atau kumpulan air hujan, pada musim kemarau airnya menjadi kering.
Dalam praktikum yang telah dilakukan dalam hal peninjauan daerah lahan basah yaitu pesisir pantai, dan daerah tangkapan air. Ditemukannya kondisi yang berbeda-beda disetiap wilayah tersebut. Tentunya perubahan kondisi ini dipengaruhi oleh alam dan sebagian besar oleh campur tangan manusia yang tak bertanggungjawab atas segala dampak yang diakibatkannya. Mereka tak menyadari betapa pentingnya peranan ekosistem lahan basah dalam menjaga keseimbangan ekosistem alam.
Daerah yang diamati adalah daerah pesisir pagatan besar di kecamatan Takisung kabupaten Tanah Laut yang merupakan daerah lahan basah yang air pantainya berupa lumpur. Timbunan lumpur banyak terdapat disepanjang garis pantai. Lumpur itu sendiri di datangkan langsung dari daerah kapuas. Sedimentasi berupa lumpur ini mengakibatkan kekeruhan pada air laut dan sangat menggangu ekosistem yang ada dilaut. Di sepanjang pesisir pantai dapat ditemui pohon bakau yang jumlahnya sangat sedikit sehingga tidak dapat menahan gelombang dan dapat terjadi abrasi. Di sepanjang pesisir pantai juga banyak terdapat sampah yang beserakan yang dibawa oleh gelombang ke pesisir pantai, akibat sampah tersebut membuat pantai tidak bagus lagi dan tidak enak dipandang. Air pantai pun terlihat keruh. Hal itu dikarenakan pantainya berlumpur dan diakibatkan karena abrasi dan sedimentasi oleh gelombang air laut. Selain itu, air laut juga telah masuk ke sumur-sumur warga sehingga air sumur warga terasa payau, sehingga warga harus membeli air bersih untuk minum yang dibawa langsung pegunungan.

Dari pengukuran yang kami lakukan terhadap air pada daerah pantai tersebut dengan menggunakan pH meter diketahui bahwa terlihat perbedaan pH pada 3 stasiun yang kami tetapkan. Pada stasiun pertama, pH yang diperoleh adalah 9 dengan warna sampel biru, stasiun kedua pH yang diperoleh juga 9 dengan warna yang serupa dengan sampel stasiun I, sedangkan pada stasiun ketiga pHnya adalah 7-8 dengan warna sampel biru kehijauan. Perbedaan pH ini disebabkan oleh perbedaan kadar logam dan kadar garam di setiap stasiun. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tingkat kesadahan air laut disekitar pesisir pantai itu cukup tinggi. Air dengan kesadahan tinggi dapat berdampak negatif pada masyarakat. Sedangkan pada pengukuran dengan alat soiltester yaitu alat yang digunakan untuk mengukur pH dan kelembapan tanah diperoleh data bahwa pada stasiun I pH dan kelembapan tanahnya sebesar 6,8 dan 15%, pada stasiun II pH dan kelembapan diperoleh nilai 5,2 dan > 100%, sedangakn pada stasiun III diperoleh nilai untuk pH dan kelembapan sebesar > 100%. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa dari ketiga stasiun tersebut pH tanahnya bersifat basa dan kelembapan tanahnya sangat lembab karena hampir lebih dari 100%.
Dari hasil pengobsevasian tersebut dapat diperkirakan dampak negatif yang akan muncul. Hal ini juga dapat diperkuat dengan pewawancaraan dengan penduduk disekitar tempat tersebut. Baik dengan nelayan yang bekerja secara langsung di pesisir pantai maupun penduduk lainnya yang bermukim di kawasan tersebut. Dari segi kesehat, mereka menyebutkan ada beberapa penyakit yang sering kali muncul yaitu demam, gatal-gatal, dan diare. Intrusi air yang dialami pada daerah tersebut makin memperburuk keadaan, yang bisa saja menyebabkan penyakit yang lebih kronis lagi. Contohnya saja adalah batu ginjal, yang diakibatkan oleh pengosumsian air payau akibat intrusi air laut yang lambat-laun menarik air tanah dan mengakibatkan air payau. Mekanisme penyakit tersebut dapat terjadi karena pengentalan air kencing yang tak bisa diekresikan ginjal sehingga berpotensi mengidap batu ginjal. Meskipun kebanyakan penduduknya mengosumsi air bersih PDAM dengan membelinya di pengecer, akan tetapi mereka akan terpaksa mengkosumsi air payau apabila stok air bersih habis dan distribusinya terganggu karena berbagai faktor.
Meskipun di kawasan tersebut kaya akan potensi tanaman obat yang mungkin saja dapat mengobati penyakit yang mereka sering alami. Akan tetapi, penduduk jarang sekali menggunakannya disebabkan karena ketidakpahaman mereka dan tidak adanya budaya obat tradisional yang biasanya diturunkan secara turun-menurun. Ketika sakit, mereka mempercayai sesuatu yang pasti misalnya saja, pengobatan di Puskesmas yang ditangani oleh seorang Bidan. Padahal Puskesmas tersabut tidak buka selama 24 jam, mereka kurang memikirkan tentang akibat dari hal itu. Bisa saja mereka terserang penyakit secara tiba-tiba dan obat sintesis yang biasanya digunakan habis. Seharusnya mereka sudah harus mandiri dengan menanam tanaman obar-obat tradisional keluarga dan memanfaatkan tanaman obat yang ada disekitar mereka. Untuk itu perlunya tenaga kesehatan, terutama tenaga faramasis yang dapat memberikan punyuluhan tentang pemanfaatan tanaman obat yang ada disekitar kawasan tersebut.
Daerah berikutnya adalah lahan basah DAS Amandit kabupaten Tanah Laut (Damit). Damit adalah sebuah desa yang terletak di salah satu rangkaian pegunungan Meratus dan wilyahnya terletak di dataran tinggi yang hampir seluruhnya tertutup padang ilalang dan hutan-hutan kecil. Damit merupakan salah satu daerah tangkapan air yang sangat penting yang terletak dikawasan selatan pulau Kalimantan. Kawasan ini merupakan contoh dimana hutan telah rusak dan intervensi manusia harus dilakukan untuk mendapatkan air. Di rawa buatan atau bendungan inilah beberapa anak sungai kecil dan air hujan ditampung untuk keperluan perikanan dan pertanian. Namun demikian flora dan fauna di kawasan ini menunjukkan kemungkinan adanya degradasi lingkungan dalam skala yang luas di sana. Selain itu kawasan ini juga menjadi mendapatkan tekanan dari berbagai aktivitas kehidupajn manusia. Masyarakat hidup dari bertani, membudidayakan ikan, berkebun dan lain-lain aktivitasnya. Sehingga mereka dapat berperan dalam kegiatan ekonomi, hukum, pemerintahan, dan kemasyarakatan lainnya. Banyak sekali indikator yang dapat digunakan untuk menilai peran masyarakat yang hidup di kawasan rawa ini.
Apabila curah hujan tinggi, dan aliran air tanah dari gunung dan DAS meningkat, maka tidak menutup kemungkinan tanggul akan jebol. Seperti yang terjadi didaerah bendungan Damit yang sudah tiga kali mengalami jebolnya tanggul akibat debit air yang melebihi kapasitas, dan kali terakhir peristiwa jebolnya tanggul ini terjadi pada tahun januari 2008 dan sedang dalam tahap perbaikan. Pemanfaatan daerah tangkapan air di Damit sebagian besar adalah untuk perairan irigasi sawah dan perkebunan petani setempat. Menurut data hasil korespondensi praktikan dengan masyarakat di daerah Damit, apabila keadaan air bendungan sedang naik, airnya keruh dan lebih dimanfaatkan menjadi potensi irigasi. Sebaliknya, dalam keadaan kemarau air bendungan menjadi jernih karena pasokan air di daerah Damit hanya berasal dari gunung. Oleh karena itu, pada saat kemarau, penduduk daerah Damit memanfaatkan air bendungan untuk dikonsumsi, dan tidak memaksimalkan untuk irigasi sawah. Irigasi sawah pada saat kemarau hanya diupayakan pada intensitas air hujan yang turun.
Secara garis besar, pembangunan daerah tangkapan air atau bendungan, dispesialisasikan sebagai salah satu kemungkinan lain untuk mengurangi resiko kekeringan dan meminimalisir dampak floody saat tangkapan air melebihi batas yang berakibat merugikan. Tanaman obat yang terdapat pada daerah Damit antara lain yaitu Karamunting, Sindaguri, Bandotan, dan Putri malu.




Baca Selengkapnya...